Layar Impian untuk Ayah

“Pak, bapak punya uang tidak ? aku mau kuliah di arab” ucapku dengan penuh harap pada ayah. Seketika rona wajahnya berubah sejak kalimat itu ku keluarkan. Desahan nafasnya tak terdengar, seperti tertahan. Cukup lama ku menunggu ada kata yang keluar dari mulut mungilnya. Tapi ayah hanya memandangi buku yang sejak tadi di bacanya. Lelaki yang satu ini memang suka membaca. Terlebih selama ayah tak lagi mendapat tawaran untuk mengurus tanah milik orang lain yang butuh bantuan jasanya.

Ayah lebih senang mengisi hari-harinya dengan membaca. Berkat hobi itu, pengetahuannya tak kalaAh hebat dengan para wakil rakyat di pemeritahan, bahkan bagiku ayah masih lebih pintar dari mereka. Padahal ayah hanya tamat Sekolah Dasar. Bukan karena bodoh ayah tak melanjutkan sekolah, justru karena terlalu pintar lantas dia tak melanjutkan sekolah. Mungkin kedengaranya agak aneh, kok ada orang pintar malah berhenti sekolah?. Aneh memang, tapi itu kenyataanya. Kalimat yang sering ibu ucapkan untuk menyinggung ayah. Ternyata dulu, ayah memutuskan untuk berhenti sekolah di saat dia dan teman-temanya ujian sekolah.

Saat itu dia sangat marah pada gurunya karena soal yang di berikan ke dia berbeda dengan teman-temanya yang lain dan soalnya pun jauh lebih sulit. Lantas karena merasa diberikan ketidakadilan dia ngambek dan memutuskan tak mau lagi melanjutkan ujian.Tak henti-henti gurunya membujuk tapi dasar ayahku ini sangat keras kepala. Ya itulah salah satu sifat ayah, yang kadang aku tak mengerti. Satu yang paling dia tak suka, ketika melihat ketidakadilan di muka bumi ini. Seperti ada yang mendorong, dengan spontanitasnya dia lngsung bertindak.

Hampir satu jam aku menunggu jawaban dari lelaki keras nan penyayang ini. Tak ada satupun kata yang terucap dari bibirnya. Akhirnya ku berani menarik kesimpulan, ayah tak punya uang. Aku juga tak berani memaksa, karena ku tahu kondisi keuangannya. Dia bukan pengusaha dengan segala keberlimpahan hartanya. Dia bukan anggota DPR dengan mobilnya yang mewah, dia bukan pengacara dengan rumahnya yang megah. Ia hanya lelaki tua dengan segala ketulusan memberikan cinta untuk keluarganya.

Betapapun minimnya uang ayah, tak pernah rasa bangga itu pudar. Bagiku tak ada yang mampu menyaingi kehebatan ayah yang satu ini. aku ingin sekali mengatakan di depan ayah betapa bangganya aku memilikinya, betapa cintanya aku denganya. Tapi kalimat itu hanya bisa kupendam dalam hati. Karena aku tahu aku bukan laki-laki yang romantis.

Aku mulai gelagapan, aku tak mau berhenti hanya sampai disini. “Apa yang bisa ku dapatkan hanya dengan ijazah madrazah ini”kataku mulai memberontak dalam hati. Aku ingin melanjutkan sekolahku. Ditengah kacaunya pikiranku, tiba-tiba ku teringat Doni dan Indra. Mereka sahabatku sejak SD sekaligus saingan terberatku di sekolah. Sebelum pembagian raport kami selalu taruhan. Taruhan siapa yang peringkatnya lebih rendah akan mentraktir.

Bagi mereka mungkin taruhan seperti ini bukan masalah besar karena mereka berasal dari keluarga yang mapan. Sedangkan aku?, aku hanya anak dari makelar tanah yang tak tentu gajinya. Kadang sebulan hanya ada satu proyek, itupun selesainya tidak menentu, kadang sampai setahun baru dapat hasil. Itupun kalau di kasih kalau tidak, ya mau bagaimana lagi palingan ayah hanya dapat ucapan terimah kasih. Aku kasihan lihat ayah. Ia sudah peras keringat memikirkan pengurusan sengketa tanah orang lain, tapi ujung-ujungnya yang didapat hanya sedikit atau hanya sekedar ucapan terimah kasih. Tiap kali ku tanya ibu akan hal itu, ibu hanya berkata “yah begitulah bapakmu, maunya membantu terus. Katanya hitung-hitung amal. Di dunia ini kan kita bukan hanya mencari uang tapi yang paling penting adalah kita mencari amal” kata ibu sembari tersenyum kecil.

Aku kagum dengan mereka begitu ikhlasnya membantu orang lain ditengah kedaan keluarga kami. Salut buat mereka. Aku makin bangga memiliki orangtua yang hatinya sangat tulus. Mungkin diluar sana ada segelintir orang tua yang sangat di banggakan oleh anaknya tapi bagiku, mereka tak ada apa-apanya di banding orang tuaku. Mereka heroku, teriakku dalam hati. Suatu saat nanti aku harus menjadi hero mereka. Ya, entah kapan waktu itu akan tiba tapi ku yakin dan sangat yakin saatnya kan tiba. Ku ingin membuat mereka bersyukur di titipkan anak sepertiku.

Pikirku mulai melayang , melayang entah kemana. Ku kembali memikirkan masalah pendidikan yang tengah kuhadapi. Pokoknya aku harus sekolah. Tidak peduli di tanah Arab atau dimana, yang jelas aku tidak mau berhenti di sini tanpa hasil. Doni bisa melanjutkan sekolahnya di fakultas kedokteran, Indra sejak tiga tahun yang lalu di Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN).

Kalau aku tak melanjutkan sekolahku, aku sudah dipastikan kalah dari pertandiran ini. Aku tak mau. Cukup tiga tahun yang lalu aku malu karena tak melanjutkan pendidikan di sekolah menengah atas (SMA). Kali ini aku tak mau lagi kejadian itu terulang. Aku yang dulu selalu unggul dari mereka. Walau aku hanya berasal dari keluarga yang sangat sederhana, aku juga tak mau mesti menelan kekalahan dalam pendidikan.

“Iwan, kamu lanjut dimana?” kalimat itu terus berkecamuk dalam pikiranku. Aku harus jawab apa kalau mereka bertanya padaku. Haruskah aku bilang didepan mereka “aku tidak lanjut dimana-mana, aku berhenti sekolah”. Ah tidak, pokoknya tidak boleh. Tapi sudahlah, kubiarkan ayah berpikir sebentar tentang nasib pendidikanku selanjutnya. Aku yakin dia juga pasti tak rela melihat anaknya putus sekolah. Ku tinggalkan ayah dengan bacaanya, bergegas menuju kamar, berusaha menenangkan diri dari kekacauanku ingin segera mendapat restu kuliah di tanah Arab. Negeri yang selalu ramai tiap tahunya di kunjungi oleh orang-orang muslin di seluruh penjuru dunia. Guna memenuhi panggilan Ilahi. Mengenal lebih dekat tanah kelahiran Rasulullah.

Tak sabar rasanya mendengar keputusan bapak, mengizikan sekolah di tanah suci itu. “ mengingat kondisi bapak saat ini, sangat sulit izin itu di ucapkan” pikirku pesimis. Tapi aku tak boleh menyerah, aku harus berjuang mengejar impianku. Kalaupun bapak tak sanggup membiayaiku, aku rela meski harus bekerja sebegai tenaga kerja Indonesia (TKI) asal aku bisa kuliah di sana. Yang aku butuhkan hanya restunya. Ingatanku masih sangat jelas dengan pesan ayah padaku sebelum masuk madarzah. “jadilah kakak yang bermanfaat bagi adik-adikmu”. Kalimat itulah yang selalu menyuntikkan semangat di saat ku haus motivasi. Motivasi untuk terus bertahan menjalani hidup. Hidup yang selalu memberikan teka-teki yang sulit terjawab oleh orang susah sepertiku.

Ku tak bisa berhenti memikirkan impian-impianku. Sambil terbaring di atas tempat tidur yang tak semewah milik para pejabat di negeri ini, pikirku melanglang buana. Terbang kesana kemari, tak tentu arah. Terbang melintasi hutan impian. Semakin hari semakin habis pepohonan disana di babat para pembuat onar yang hobinya menebang pohon impian orang-orang. Dari jauh jelas kulihat hanya pohon impianku yang masih anteng pada tempatnya, meski sedikit miring ke kiri diterpa angin cobaan dari timur. Terbang bergandengan dengan kupu-kupu nan cantik. Menikmati oksigen yang senantiasa di keluarkan oleh pepohonan. Ada guratan kesedihan terlihat pada wajah binatang di bawah. “Hey, harimau kenapa wajahmu kusut seperti itu?” Tanyaku padanya sambil berteriak. “Hey, raja rimba apa gerangan dirimu begitu sedih, mungkinkah kau tak mendapat mangsa hari ini? ah, tapi itu tak akan mungkin. Ayo jawab aku” pintaku kembali padanya.

“Aku sedih, karena aku akan kehilangan tempat tinggalku sebentar lagi. Hutan impian ini akan musnah di babat habis oleh pembuat onar yang tidak senang jika ada pohon impian yang tumbuh besar nan lebat daunnya di sini. Andai ku bertemu dengan mereka ingin sekali ku memangsanya. Enak saja mereka menebang pohon yang bukan miliknya.” Emosi si raja hutan impian.

“pohonku juga di bawah sana ternyata sudah ada pembuat onar yang mulai mengincarnya. Tapi aku si pemiliknya tidak akan mungkin membiarkan mereka begitu saja dengan mudahnya menebang pohonku” sebentar lagi pohonku juga akan menghasilkan tunas-tunas baru menggantikan pohon-pohon yang telah berhasil di tebang. Oya Har, aku pamit dulu. Aku dan kupu-kupu negeri impian ingin melanjutkan petualangan” teriakku bersemangat.

“Indra, bangun nak shalat subuh”suara samar-samar terdengar menemani petualanganku. Semakin lama suara itu semakin jelas. “ayo nak, bangun shalat berjamaah sama bapak” ternyata itu suara ibu yang baru ku ketahui setelah terbangun dari tidurku yang nyenyak. “ iya bu” suaraku dengan nada malas.
Selesai shalat subuh berjamaah, ku kembali duduk di dekat bapak. Berharap ada kesempatan untuk menanyakan kembali soal keinginanku kemarin. Sejak tadi duduk di kursi reot ini satu meter dari posisi ayah, tapi tak satupun kata yangg berani ku ucap. Sesekali ayah melirikku, mungkin di tahu maksudku tapi hanya ku balas dengan senyuman yang sedikit kaku.

Akhirnya mulutku pun terbuka “pak, bagaimana dengan niatku yang kemarin bisa kan?” tanyaku terkesan memaksa.
“Kamu tidak berminat kuliah di Indonesia, kalau kamu mau bapak bisa usahakan agar kamu kuliah pelayaran. Tinggal beberapa hari lagi batas waktu pendaftarannya. Besok pagi kita ke Makassar” kata ayah tak kalah memaksa.
“hah, minta kuliah di Arab, ditawari kuliah pelayaran. Di mana hubungannya yah” pikirku bingung. “tapi kan pah, aku inginnya jadi ustad” kataku sedikit memelas. Lagi-lagi bapak tak bergeming. Sesekali dia menatapku lalu kembali menatap bacaanya sambil menarik napas. Ia seperti hendak mengatakan sesuatu tapi sulit Ia katakana. “kalau bapak tak punya biaya untukku kuliah, biar saja saya bekerja sebagai TKI disana sambil saya kuliah” kataku mendahului bapak. “kamu pikir bapak tega lihat kamu kerja jadi TKI disana” katanya dengan ekspresi tak percaya sekaligus tak setuju dengan ideku.

Ada suasana lain setelah kalimat itu keluar dari mulut bapak. Aku jadi tak enak lihat bapak. Aku harusnya tak berkata seperti itu, mungkin Ia tersinggung dengan kata-kataku tadi. “ya sudah, iya pak nanti saya coba” jawabku terpaksa karena tak tega melihat bapak. Aku jadi heran lihat bapak. Harusnya dia senang anaknya ingin kuliah agama di tanah Arab. Yah, tapi mau diapakan lagi itulah keputusan bapak, mungkin dia sama sekali tak punya uang. Karena seingatku tak pernah sekalipun bapak bilang tak punya uang jika anaknya meminta untuk uang sekolah. “kalau masalah uang tak perlu dipikirkan nak” kata bapak tiap kali kami anaknya bertanya uang kepadanya. Biarlah kuturuti saja apa maunya. Aku bisa saja membangkan dan tetap nekat pergi. Tapi tidak, aku tak mampu. Sungguh aku tak mampu melihat ayah banting tulang menyekolahkanku di luar negeri.

***
Empat tahun kemudian

“nak hati-hati disana jangan lupa shalat, biarpun kamu sekarang dinegeri orang harus tetap ingat Allah. Kalau sempat jalan-jalan ke makkah sekalian umrah” suara lembut seorang ibu diseberang sana meneduhkanku. “iya bu, doakan saja mudah-mudahan saya bisa jalan-jalan kesana. Jarak tempat Indra tidak terlalu jauh bu dari makkah. Doakan yah bu juga tahun depan Indra bisa menngumpulkan biaya untuk bapak dan ibu ke tanah suci” kataku sebelum pamit kembali melaksanakan tugas sebagai nahkoda sebuah kapal tengker di tanah Arab. Kini aku telah mewujudkan mimpi ayah. Impian yang pernah ingin ia wujudkan sendiri. Karena kecelakaan maut itu ia terpaksa menurunkan mimpinya padaku. “Makasih atas mimpimu ayah”

Posting Komentar

Please Select Embedded Mode To Show The Comment System.*

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak