Aku adalah
bayangan, tiruan dari jasadku. Harta berlimpah ruah ia miliki. Membeli mobil
seringan membeli permen. Alangkah indahnya mengelilingi dunia bebas tanpa
aturan. Jika terhambat sedikit, maka tumpukan uang akan meluruskannya.
Terkadang ia bosan hidup, semua kenikmatan dunia telah ia dapatkan. “Hidupku
tanpa beban”. Katanya.
Ia melalang buana melayang ke sana kemari, memetik, menikmati indah hidupnya. Teman kini mendekat padanya melakukan segala apa yang ia kehendaki. Mereka telah menjual harga dirinya lebih murah ketimbang membeli sekarung beras. “Teman adalah budak” itulah prinsipnya. Aku jadi iri melihatnya. Ia tak pernah bersekolah, tak pernah bekerja. Hanya nasibnyalah yang begitu mujur terlahir dari rahim dan keluarga yang begitu sibuk berbisnis mencari harta yang kini takkan pernah habis.
Dari masa kanak-kanak hingga sekarang, masih dapat dihitung jari, saat-saat ia bertatapan langsung dengan orang tuanya. Hanya uang, benda tak bernyawa itu yang menemaninya, merawatnya serta menasihatinya. Uang mengajarinya kebebasan. Uang mengajarkan kemewahan. Uang mengajarkan kekuasaan. Apa pun di dunia ini dapat ia miliki.
Suatu ketika ia di Bali menikmati belaian angin. Senja kemerahan terpancar sejauh mata memandang, berkilauan di atas laut. Lambaian lembut ombak membuat ia mengantuk. Sejenak ia berpikir berdialog dalam batinnya.
“Buat apa aku hidup, jika semuanya dapat ku raih dengan mudah, tidak ada tantangan yang terlalu sulit untukku. Aku bosan seperti ini terus. Orang-orang tersenyum, menyambutku ramah. Tapi sayangnya itu semua palsu. Yang mereka inginkan hanyalah uangku. Pengasuhku sejak kecil. Ia tak pernah mengajariku sopan santun, bahkan istilah itu masih asing di telingaku. Hidupku sangat menyenangkan, tapi aku tidak dapat merasakan sampai sejauh mana kesenangan ini berlangsung, hingga dapat membuatku bahagia. Semua sumber kesenangan adalah langgananku, tapi tetap saja aku tak bisa tertawa bebas bahagia. Telah kujajah kebahagiaan orang lain. Aku tak senang jika mereka memperlihatkan raut wajah kebahagiaan. Tertawa pontang-panting. Maka ku bayar beberapa orang. Ku suruh mereka melenyapkan senyuman dan kebahagiaan orang itu. Ku paksa ia bersujud padaku. Ia pun kehilangan kebahagiaanya. Dalam sujudnya ia menatapku takut. Bibirnya gemetar. Kupaksa ia menceritakan hal yang membuatnya begitu bahagia dengan pancaran rasa takut di wajahnya. Itu membuatku bahagia. Kemudian aku berkoar-koar. Mengumpat caci, tertawa terbahak-bahak, tak seorang pun berani melawan. Dengan begitulah jasadku membahagiakan dirinya. Aku sebagai bayangan hanya diam menyaksikannya.
Senja akan habis, aku Nampak jelas terkapar di lantai sebagai bayangannya. Aku dapat merasakannya. Aku tahu apa yang ia pikirkan. Ia bosan hidup. Ia terus melempar pandangannya jauh menatap merah langit. Hingga ia terlelap. Di saat itulah aku bermohon pada yang kuasa. Perlahan-lahan dalam alam bawah sadarnya, ku masuki dan kukendalikan mimpinya. Awalnya ku wujudkan impiannya. Ku berikan ia kehangatan yang tak bisa ia dapatkan dalam hidupnya. Ku hadirkan kedua orang tua-Nya mendekap lembut tubuhnya. Memberikannya hadia yang terbungkus rapi berpita. Ku lihat ia heran setengah mati. Jantungnya mendengap-dengap. Sempat ia merasa aneh dengan dirinya, namun perlahan-lahan lumer dengan kasih sayang orang tuanya. Ia tersenyum tanggung, tak terasa ia meneteskan air mata. Begitu sadar, ia memandang wajah ibunya. Begitu ramah, sebuah sosok yang telah lama ia rindukan. Tak terbendung lagi, ia segera mendekap ibunya menangis sekencang-kencangnya. Haru kebahagiaan menggebuh-gebuh di rongga dadanya, membuatnya tersengal terseduh-seduh. Inilah kebahagiaan yang selama ini dia cari. Dalam dekap ibunya ia mengigau “Ibu”.
“Syuuu…rrr” kudatangkan angin menyapu semua orang di sekelilingnya layaknya debu, membuyarkan kebahagiaanya. Kini ia berada di sebuah tempat kosong sendirian. Ruangan kubuat berwarna putih, hampa tak beratap, tak mempunyai dinding dan tak mempunyai dasar. Ia mengambang kebingungan, berlari tanpa arah. Kakinya tak merasakan apa-apa, yang ia tapaki hanyala udara. Kubisikkan dalam pikirannya untuk menanyakan dimana bayangannya yaitu aku.
“Dimana bayanganku?”. Katanya heran.
Aku pun keluar tepat di hadapannya. Mula-mula kubentuk diriku menyerupai dirinya, kemudian memanjang dan membesar. Aku terbit layaknya matahari. Kubuat badanku mengembang dan membesar seperti raksasa. Kubuat ia tak dapat bergerak. Aliran darahnya berpacu cepat. Terlihat jelas raut ketakutan di wajahnya.
“Jangan takut, aku ini bayanganmu. Aku adalah kamu” kataku dengan suara berat menggelegar.
“Ma..mau apa kau?.”
“Aku mau hidup sepertimu, menikmati indahnya hidup ini. Aku irih denganmu yang bisa hidup bebas tanpa beban. Aku juga mau hidup sepertimu. Aku mau menguasai dunia ini.”
Seketika kutukikkan bandanku kearahnya, kurenggut lehernya. Ia terbelalak tak dapat bernapas. Tiba-tiba ia tersentak, terbangun, dengan kedua tangannya mencekek lehernya sendiri. Ia terengah-engah. Kemudian merasa legah, tadi hanya mimpi. Masih terbayang pola sekelumit mimpinya barusan yang dianggapnya tidak biasa. Ia melirik kearahku menatapku aneh, cahaya lampu membuatku nampak. Ia menggerak-gerakkan tangannya, spontan aku mengikutinya. Ia merasa legah, yang dikhawatirkannya tidak terjadi. Perlahan ia meneguk jus jeruk yang disiapkan pembantunya hingga habis. Sejenak ia berpikir. Merenung tentang perjalanan hidupnya selam ini. Ia mengait-ngaitkan dengan mimpinya. Seketika ia kasihan pada dirinya sendiri. Ia mendekap dadanya, aroma harum ibunya masih dapat ia rasakan. Rasa rindu menerobos, bergerombol di dadanya.
“Buat apa punya uang dan kekuasaan, tapi tak pernah merasa bahagia. Ini benar-benar terjadi”. Pikirnya.
“Ya, ini benar-benar terjadi”
Tak mau buang-buang waktu lagi aku segera meluncur menghadap tepat di depannya. Ia kaget setengah mati, segera menoleh ke lampu, mencari orang-orang di sekitarnya. Nihil, tak ada seorang pun. Hanya dia sendiri. Ia kembali menatapku, mengangkat tangannya setinggi dada. Otomatis aku mengikutinya. Lalu seketika kutarik tangan kananku hingga putus. Kukagetkan dia. Ia terjungkal dari kursinya terpekik karena kaget. Dengan cepat ia melompat mencari kerumunuan orang. Sebagai bayangannya, tentu aku terus mengikutinya.
“Ini benar-benar terjadi”. Pikirku.
Aku bisa mengubah bentuk tubuhku sesuai keinginanku. Maka kuhentikan langkahnya tepat di keramaian. Orang-orang memandangnya terheran-heran, namun tetap saja mereka tak mau peduli. Mereka terlalu sibuk dengan kesenangannya masing-masing. Maka kukagetkan mereka. Aku bangkit menampakkan diri, membesar dan mengembang. Kulihat beberapa orang menjerit, berlari tunggang langgang. Hanya tersisa tiga orang pria dewasa, nampaknya minuman telah memabukkan mereka, tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Kemudian salah satu dari mereka kurenggut hingga tulangnya remuk. Kubentuk jari-jariku seperti garpu lantas kutukikkan menembus dada pria lainnya.
“Sraaatt…..!!!”. darah menyembur dimana-mana.
“Ha…ha…ha…” aku tertawa terbahak-bahak. Tak terbayangkan apa yang bisa kulakukan dengan kemampuanku ini.
Tapi tiba-tiba saja angin besar datang menerjangku. Ini benar-benar terjadi. Ini nyata. Tiba-tiba saja hujan deras mengguyur, berselang dua detik hujan menghilang tak berbekas. Kulihat diangkasa sosok besar berjubah menutupi bulan dan bintang. Meluncur, mendarat tepat di hadapanku. Angin tak berhenti melambai-lambaikan jubahnya. Ia inigin melawanku, ingin menghentikan langkahku.
“Aku Israil” katanya. Seketika langit terbendung. Semua cahaya di bumi sirna. Gelap gulita. Aku bergeming. Sebagai langkah awal. Akan kuhadapi. Aku akan melawannya. Akan kubuat dunia ini berada dalam genggamanku….
Tags:
Cerpen